Dalam masyarakat tradisional yang memiliki nilai-nilai kuat terhadap hierarki dan otoritas, konsep tawadhu (kesederhanaan) seringkali dihadapkan dengan mentalitas feodal yang menghasilkan ketidakseimbangan dalam hubungan antara guru dan murid. Tawadhu seharusnya merupakan sikap rendah hati dan kesederhanaan yang dijunjung tinggi dalam Islam, tetapi terkadang pemahaman yang keliru tentang tawadhu menyebabkan dinamika hubungan yang tidak seimbang di antara mereka.
Dalam Islam, tawadhu adalah nilai yang sangat dihargai. Ini mengacu pada sikap rendah hati, kesederhanaan, dan ketundukan kepada Allah. Seorang yang tawadhu tidak membanggakan diri atas kelebihannya dan menghargai orang lain tanpa memandang status atau kedudukan. Tawadhu mendorong untuk tidak sombong atau angkuh, melainkan bersikap rendah hati dan menghormati orang lain.
Feodalisme, di sisi lain, merujuk pada sistem hierarki sosial yang kuat di mana individu-individu diatur berdasarkan status dan kekuasaan. Dalam konteks pendidikan tradisional, hal ini dapat tercermin dalam hubungan antara guru (kiai) dan murid (santri) di pesantren atau madrasah. Santri diharapkan tunduk pada guru mereka tanpa banyak bertanya atau menantang, seolah-olah takut akan kehilangan berkah ilmu jika tidak patuh.
Pendekatan feodal terhadap hubungan guru-santri dapat menghasilkan sejumlah masalah. Misalnya, penggunaan otoritas guru secara tidak seimbang dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelecehan terhadap murid. Ketika santri diharapkan untuk patuh tanpa mempertanyakan, hal ini bisa menciptakan lingkungan di mana guru merasa bebas untuk bertindak semena-mena.
Tawadhu seharusnya bukanlah permintaan untuk patuh tanpa syarat, melainkan sikap hormat dan rendah hati yang dilandasi oleh saling penghargaan. Guru yang tawadhu akan mendekati muridnya dengan penuh empati dan pengertian, bukan dengan ancaman atau intimidasi. Sebaliknya, feodalisme menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang berpotensi memicu penyalahgunaan dan ketidakadilan.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya pendekatan pendidikan yang egaliter dan bermartabat. Ini berarti guru dan santri diperlakukan sebagai rekan belajar dalam proses pendidikan, di mana masing-masing pihak memiliki hak dan tanggung jawab yang sama. Sikap tawadhu harus menjadi landasan dalam interaksi antar-individu dalam masyarakat Islam, termasuk dalam konteks pendidikan.
Pendidikan yang bermartabat menghormati nilai-nilai Islam seperti tawadhu dan saling penghargaan. Guru diharapkan untuk menjadi teladan dalam kesederhanaan dan kesetiaan kepada nilai-nilai agama, sementara murid dihargai sebagai individu yang memiliki potensi dan kecerdasan yang harus dikembangkan.
Dalam menghadapi tantangan hubungan feodal antara guru dan murid, penting untuk kembali ke nilai-nilai tawadhu dalam Islam. Tawadhu harus menginspirasi sikap hormat dan rendah hati, bukan untuk membenarkan perilaku feodalisme atau penyalahgunaan kekuasaan. Pendidikan yang egaliter dan bermartabat dapat membantu membangun lingkungan belajar yang seimbang dan produktif, di mana nilai-nilai Islam dan kesetaraan dihormati dan dihargai.
Komentar
Posting Komentar