Pemilihan seorang pemimpin negara bukanlah perkara yang sepele, namun merupakan keputusan penting yang akan membentuk arah dan masa depan suatu bangsa. Kesalahan dalam memilih pemimpin dapat berdampak signifikan pada seluruh masyarakat, oleh karena itu, proses pemilihan pemimpin harus didasarkan pada pertimbangan yang mendalam, terutama dalam konteks maqasid syariah.
Maqasid syariah, atau tujuan-tujuan syariah, mencakup berbagai aspek kehidupan dan menjadi kerangka kerja yang dapat digunakan untuk menilai kesesuaian seorang pemimpin dengan prinsip-prinsip Islam. Pertimbangan tersebut mencakup enam dimensi utama, yaitu hifdz ad-din (pemeliharaan agama), hifdz an-nafs (pemeliharaan jiwa), hifdz al-'aql (pemeliharaan akal), hifdz al-mal (pemeliharaan harta), hifdz an-nasl (pemeliharaan keturunan), dan hifdz al-biah (pemeliharaan lingkungan).
Pertama, dalam dimensi hifdz ad-din, seorang pemimpin yang baik harus mampu menjaga kerukunan antar-agama. Ini mencakup perlindungan terhadap hak-hak minoritas dan upaya untuk mewujudkan toleransi antar umat beragama. Pemimpin yang memahami nilai pluralitas dan mengedepankan keadilan dalam memelihara agama akan membawa dampak positif pada keharmonisan masyarakat.
Kedua, hifdz an-nafs menuntut seorang pemimpin untuk peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Ini termasuk upaya dalam pemeliharaan akal, kesehatan mental, serta penanganan penyakit dan pandemi. Pemimpin yang proaktif dalam menciptakan kebijakan kesehatan yang menyeluruh dan menyediakan layanan kesehatan yang merata akan mencerminkan kepeduliannya terhadap hifdz an-nafs.
Ketiga, hifdz al-'aql menuntut pemimpin untuk memprioritaskan pendidikan. Pemeliharaan akal melibatkan investasi dalam sistem pendidikan yang berkualitas, memberikan akses pendidikan yang merata, dan memastikan bahwa generasi muda memiliki akses terhadap pengetahuan yang luas dan berkualitas.
Keempat, hifdz al-mal menekankan pada perlunya pemimpin yang berkomitmen dalam menjaga ekonomi dan memastikan keadilan ekonomi. Hal ini mencakup perhatian terhadap inflasi, harga-harga yang terjangkau, dan kebijakan-kebijakan ekonomi yang adil untuk mengatasi masalah hidzul mal.
Kelima, hifdz an-nasl mendorong pemimpin untuk memperhatikan masa depan bangsa dengan memberikan perhatian khusus terhadap generasi penerus. Ini mencakup upaya dalam memastikan pendidikan yang bermutu, pembinaan karakter, dan penciptaan peluang pekerjaan yang layak untuk menciptakan generasi yang tangguh dan berakhlak baik.
Terakhir, hifdz al-biah menuntut pemimpin untuk menjadi pelindung alam dan kelestarian lingkungan. Ini melibatkan kebijakan-kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan, pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana, dan perlindungan terhadap ekosistem.
Dengan merujuk pada maqasid syariah, masyarakat dapat mengamati dan menilai kecocokan calon pemimpin dengan prinsip-prinsip Islam yang menciptakan kesejahteraan dan keadilan. Dalam konteks ini, pemilihan pemimpin negara menjadi langkah strategis untuk memastikan bahwa hifdz ad-din, hifdz an-nafs, hifdz al-'aql, hifdz al-mal, hifdz an-nasl, dan hifdz al-biah terpenuhi, menciptakan masyarakat yang seimbang dan berdaya.
Referensi:
1. Al-Qaradawi, Yusuf. (1990). "Fiqh of Priorities: The Environmental, Social, and Economic Impacts of Development in Islam." Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought.
2. Ramadan, Tariq. (2010). "Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation." Oxford: Oxford University Press.
3. Kamali, Mohammad Hashim. (2011). "Maqasid al-Shari'ah: The Objectives of Islamic Law." Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
Komentar
Posting Komentar