Pernikahan dan perceraian merupakan dua aspek kehidupan yang semakin menjadi sorotan di era modern ini. Fenomena di mana tingkat perceraian cenderung meningkat seiring dengan pernikahan yang cepat dan tidak langgeng, terutama di kalangan kaum muda, menuntut perhatian serius terhadap sistem pernikahan dan perceraian yang ada. Dalam mengatasi permasalahan ini, pengetatan terhadap syarat pernikahan dan perceraian menjadi sebuah urgensi yang perlu diperhitungkan.
Pertama-tama, melihat masalah pernikahan, penting untuk mempertimbangkan bahwa pernikahan bukanlah perkara sepele. Dalam masyarakat modern yang serba cepat dan dinamis, keputusan untuk menikah harus didasari oleh pertimbangan matang, bukan impulsif. Oleh karena itu, uji tes psikologis dapat menjadi langkah yang signifikan untuk memastikan bahwa calon pasangan memiliki kesiapan mental dan emosional yang cukup untuk menjalani kehidupan pernikahan.
Referensi:
1. Fincham, F. D., Stanley, S. M., & Markman, H. J. (2012). "Couples in the New Millennium: A Decade in Review." Journal of Marriage and Family, 74(1), 87–96.
2. Amato, P. R., & James, S. (2010). "Divorce in Europe and the United States: Commonalities and Differences Across Nations." Family Science, 1(1), 2–13.
3. Hetherington, E. M., & Kelly, J. (2002). "For Better or For Worse: Divorce Reconsidered." W. W. Norton & Company.
Selanjutnya, kecukupan nafkah menjadi aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam pernikahan. Terlalu sering, masalah finansial menjadi pemicu pertengkaran dan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, memastikan bahwa pasangan memiliki kemampuan finansial yang memadai sebelum menikah dapat membantu mengurangi potensi konflik yang timbul akibat persoalan ekonomi.
Referensi:
1. Dew, J. (2009). "The association between consumer debt and the likelihood of divorce." Journal of Family and Economic Issues, 30(2), 157–170.
2. Lundberg, S., Pollak, R. A., & Stearns, J. (2016). "Family in Flux: Household Structure and Fertility in the United States." In Demography and the Economy (pp. 71–102). University of Chicago Press.
Selain itu, aspek terampil juga patut diperhitungkan. Pernikahan bukan hanya mengenai romantisme semata, tetapi juga melibatkan kerja sama, komunikasi, dan penyelesaian konflik. Memastikan bahwa pasangan memiliki keterampilan ini melalui penilaian terampilitas interpersonal dapat menjadi langkah positif untuk menciptakan fondasi pernikahan yang kuat.
Referensi:
1. Markman, H. J., Rhoades, G. K., Stanley, S. M., Ragan, E. P., & Whitton, S. W. (2010). "The premarital communication roots of marital distress and divorce: The first five years of marriage." Journal of Family Psychology, 24(3), 289–298.
2. Gottman, J. M. (2015). "Why Marriages Succeed or Fail: And How You Can Make Yours Last." Simon and Schuster.
Di sisi perceraian, penting untuk memberikan hambatan yang memadai untuk mencegah keputusan bercerai yang impulsif. Dalam hal ini, proses perceraian bisa dipersulit untuk memastikan bahwa pasangan yang ingin bercerai benar-benar telah mempertimbangkan dengan matang dan mengambil langkah terakhir setelah upaya-upaya rekonsiliasi yang serius.
Referensi:
1. Amato, P. R., & Hohmann-Marriott, B. (2007). "A Comparison of High and Low Distress Marriages That End in Divorce." Journal of Marriage and Family, 69(3), 621–638.
2. Lebow, J. L., Chambers, A. L., Christensen, A., & Johnson, S. M. (2012). "Research on the Treatment of Couple Distress." Journal of Marital and Family Therapy, 38(1), 145–168.
Sebagai kesimpulan, pengetatan sistem pernikahan dan perceraian menjadi langkah yang relevan dan bermanfaat dalam menghadapi tantangan perubahan sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat modern. Dengan melibatkan aspek psikologis, keuangan, dan keterampilan interpersonal, diharapkan dapat membentuk pernikahan yang kuat dan berkelanjutan, serta memberikan hambatan yang cukup untuk mengurangi tingkat perceraian yang tinggi.
Komentar
Posting Komentar