Dalam beberapa kasus, kita sering menyaksikan maraknya kezhaliman di suatu negeri, dan ironisnya, keadaan ini dapat terkait dengan fokus yang terlalu besar dari kaum agamawan untuk memperbaiki diri sendiri. Meskipun pembenahan diri adalah suatu aspek penting dalam praktik keagamaan, namun saat fokus tersebut menjadi terlalu internal, dampaknya terhadap keadilan sosial dan keberlanjutan masyarakat bisa terabaikan.
Kaum agamawan, sebagai pemimpin rohaniah, memiliki tanggung jawab moral dan etis untuk membimbing masyarakat menuju keadilan dan kesejahteraan. Namun, ada situasi di mana mereka terlalu sibuk dengan ritual keagamaan dan pembenahan diri pribadi, sehingga kezhaliman di masyarakat bisa berkembang tanpa tindakan preventif yang adekuat. Fenomena ini menjadi semacam paradoks, di mana eksistensi keagamaan yang seharusnya menjadi sumber inspirasi bagi perubahan positif justru menjadi bagian dari masalah tersebut.
Pentingnya pembenahan diri dalam konteks agama tidak bisa diabaikan. Al-Qur'an sendiri memberikan banyak petunjuk tentang pentingnya introspeksi dan pemurnian jiwa. Namun, kita harus memahami bahwa pembenahan diri tidak boleh berhenti pada level personal semata. Islam menekankan konsep keadilan sosial, dan agamawan memiliki peran kunci dalam menyuarakan dan melaksanakan nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam menanggapi tantangan ini, perlu diingat bahwa kaum agamawan harus memahami bahwa perbaikan diri juga mencakup tanggung jawab terhadap masyarakat luas. Salah satu konsep dalam Islam yang relevan dengan hal ini adalah "amr ma'ruf nahi munkar" atau mendorong kebaikan dan menolak kemungkaran. Hal ini mencerminkan keharusan aktif dalam memerangi ketidakadilan dan kezhaliman di tengah masyarakat.
Penting untuk tidak menyalahkan agama sebagai akar dari masalah ini, melainkan melihat pada cara interpretasi dan implementasinya. Pemahaman agama yang terlalu sempit dan terfokus pada ritual semata dapat menyebabkan penyimpangan dari nilai-nilai universal yang diusung agama, termasuk keadilan sosial. Oleh karena itu, pendidikan agama yang inklusif dan kontekstual dapat menjadi solusi untuk memastikan bahwa kaum agamawan memahami peran mereka dalam konteks yang lebih luas.
Referensi:
1. Al-Qur'an.
2. Esack, Farid. (2008). "The Qur'an: A User's Guide". Oxford: Oneworld Publications.
3. Ramadan, Tariq. (2004). "Western Muslims and the Future of Islam". Oxford: Oxford University Press.
4. Siddiqui, Mona. (2017). "The Good Muslim: Reflections on Classical Islamic Law and Theology". Cambridge: Cambridge University Press.
Komentar
Posting Komentar