Bersyukur merupakan sikap yang sangat dianjurkan dalam berbagai agama dan filosofi hidup. Namun, terkadang kita tanpa sadar terjebak dalam pola bersyukur yang kurang ngajar, yaitu ketika kita mensyukuri sesuatu atas dasar kekurangan orang lain. Sebagai contoh, melihat orang yang cacat atau miskin bisa memicu perasaan syukur karena kita tidak berada dalam keadaan yang sama. Ironisnya, pada saat bersamaan, kita mungkin merendahkan mereka atas kekurangan yang mereka miliki. Hal ini menggambarkan bahwa kita bisa bersyukur, tetapi dengan cara yang kurang menginspirasi dan tidak mengajarkan arti sejati dari rasa syukur.
Mensyukuri atas apa yang kita miliki seharusnya bukanlah alasan untuk merendahkan atau menjauhi orang yang memiliki kekurangan. Sejatinya, rasa syukur seharusnya menjadi pendorong untuk berempati dan membantu sesama yang mungkin sedang mengalami kesulitan. Saat kita memandang orang lain dengan pandangan yang empati, kita dapat melihat keberagaman hidup dan mengakui bahwa setiap individu memiliki perjuangannya masing-masing.
Bersyukur yang kurang ngajar dapat mengakibatkan ketidakpekaan terhadap penderitaan dan kesulitan orang lain. Kita mungkin bersyukur karena kita memiliki kesehatan yang baik, tetapi bagaimana dengan mereka yang sedang berjuang melawan penyakit atau cacat fisik? Seharusnya, rasa syukur kita menjadi panggilan untuk membantu dan mendukung mereka, bukan untuk menganggap diri lebih baik atau lebih beruntung.
Dalam konteks ini, konsep empati dan kepedulian menjadi kunci dalam mengatasi bersyukur yang kurang ngajar. Berbagai penelitian psikologi positif menunjukkan bahwa kebahagiaan yang sejati berasal dari memberikan dan berkontribusi pada kesejahteraan orang lain (Dunn, Aknin, & Norton, 2008). Dengan memahami kehidupan orang lain dan memberikan dukungan, kita tidak hanya memberikan manfaat kepada mereka tetapi juga memperkaya makna rasa syukur kita sendiri.
Selain itu, pemahaman bahwa kebahagiaan tidak selalu berkaitan dengan kekayaan materi atau kesehatan fisik dapat membantu mengubah paradigma bersyukur yang kurang ngajar. Banyak orang yang memiliki kehidupan sederhana atau menghadapi tantangan fisik tetapi tetap bahagia dan bersyukur. Ini menunjukkan bahwa rasa syukur sejati tidak hanya terkait dengan kelebihan yang dimiliki, melainkan dengan cara kita menjalani hidup dengan penuh makna dan kontribusi positif kepada orang lain.
Dalam mengakhiri, bersyukur seharusnya membawa kita pada kesadaran akan tanggung jawab sosial untuk membantu sesama. Mensyukuri keberuntungan kita seharusnya menjadi panggilan untuk berempati dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Dengan demikian, kita dapat merubah perspektif bersyukur yang kurang ngajar menjadi sikap yang menginspirasi dan membawa dampak positif pada kehidupan kita dan orang lain.
Komentar
Posting Komentar