Pertanyaan seputar perlunya konsep Hifdzuddin (menjaga agama) telah menjadi bagian dari diskusi filosofis dan teologis dalam konteks Islam. Apakah agama, sebagai pedoman hidup manusia, benar-benar memerlukan penjagaan khusus? Apakah konsep ini membawa manfaat atau justru memunculkan risiko penafsiran yang sempit? Sementara agama bukanlah benda fisik yang dapat rusak atau hilang, pertimbangan kritis terhadap konsep Hifdzuddin menjadi relevan dalam merespons perkembangan zaman dan memahami peran sejati agama dalam kehidupan manusia.
Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa agama, dalam konteks Islam, bukanlah suatu entitas fisik yang perlu dilindungi seperti benda atau barang berharga. Agama adalah suatu panduan hidup, seperangkat prinsip, dan nilai-nilai moral yang membimbing individu menuju kehidupan yang bermakna dan bermanfaat. Oleh karena itu, konsep Hifdzuddin seharusnya lebih dari sekadar penjagaan fisik terhadap agama, melainkan penanaman nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Kritik terhadap konsep Hifdzuddin tidak menolak pentingnya menjaga ajaran agama, namun lebih kepada apakah penjagaan ini seharusnya terfokus pada aspek tradisi keagamaan semata ataukah melibatkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap prinsip-prinsip Maqashid Syariah. Maqashid Syariah mencakup prinsip-prinsip penting seperti Hidzul Nafs (menjaga jiwa), Hifdzul Aql (menjaga akal), Hidzul Nashl (menjaga keturunan), dan Hifdul Mal (menjaga harta). Maka, menjaga agama seharusnya melibatkan upaya menjaga dan mengamalkan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari.
Adalah suatu ironi jika konsep Hifdzuddin hanya terbatas pada ritual dan tradisi keagamaan tanpa memperhatikan aspek-aspek penting lainnya. Menjalankan ibadah dan ritual keagamaan memang penting, tetapi menjaga agama seharusnya mencakup lebih dari itu. Agama bukan hanya tentang bagaimana seseorang beribadah, tetapi juga bagaimana mereka menjaga keseimbangan hidup, memelihara kesehatan jiwa dan raga, serta berkontribusi positif dalam masyarakat.
Konsep Hifdzuddin yang seimbang dan holistik sejalan dengan visi Islam yang menekankan keutamaan menjaga kesejahteraan umat manusia. Dalam perspektif ini, menjaga agama juga berarti menjaga kesejahteraan sosial, keadilan, dan perdamaian di masyarakat. Menjalankan agama tidak hanya tentang hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal antara sesama manusia.
Referensi:
1. Al-Ghazali. (2013). "Ihya Ulum al-Din (The Revival of the Religious Sciences)." Translated by Fazlul Karim. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
2. Al-Qaradawi, Yusuf. (2010). "Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach." London: IIIT.
3. Esposito, John L., and John O. Voll. (1996). "Islam and Democracy." Oxford: Oxford University Press.
Komentar
Posting Komentar