Dalam konteks ekonomi dan bisnis, pengaturan sistem upah merupakan hal yang krusial. Upah adalah imbalan atau pembayaran yang diberikan kepada seseorang atas pekerjaan atau jasa yang telah diberikan. Di dalam Islam, masalah upah dibahas dalam cabang ilmu fiqh muamalah, yang membahas tentang transaksi dan muamalah ekonomi. Namun, perdebatan mengenai hukum menentukan upah di awal dengan harga sekian tanpa menggunakan sistem bagi hasil masih menjadi topik yang kontroversial.
Dalam fiqh muamalah, upah biasanya dibayarkan berdasarkan sistem bagi hasil, di mana upah ditentukan sebagai persentase tertentu dari keuntungan yang dihasilkan dari pekerjaan atau bisnis tertentu. Namun, dalam praktiknya, terkadang ada kasus di mana pihak-pihak yang terlibat sepakat untuk menentukan upah di awal dengan harga sekian tanpa menggunakan sistem bagi hasil. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah praktik ini termasuk riba atau tidak menurut perspektif fiqh muamalah.
Argumen Pro: Tidak Termasuk Riba
Beberapa ulama berpendapat bahwa menentukan upah di awal dengan harga sekian tanpa menggunakan sistem bagi hasil tidak termasuk riba. Argumen-argumen yang dikemukakan oleh mereka antara lain:
1. Kontrak Sah: Menurut mereka, selama pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi telah sepakat secara sukarela dan tanpa paksaan, kontrak tersebut dianggap sah dan berlaku secara syar'i. Asalkan kesepakatan itu tidak melanggar prinsip-prinsip ekonomi Islam lainnya, seperti mengandung riba, gharar (ketidakpastian), atau maysir (perjudian), maka itu bisa diterima.
2. Pertukaran Jasa dan Upah: Dalam transaksi ini, ada pertukaran jasa dengan upah yang telah disepakati di awal. Kedua belah pihak saling memberikan dan menerima sesuatu yang dianggap setara, yakni jasa dan imbalan atas jasa tersebut. Oleh karena itu, tidak ada elemen riba dalam pertukaran tersebut.
3. Praktik Umum: Beberapa ulama berpendapat bahwa praktik ini telah berlangsung lama dalam masyarakat dan dianggap sebagai kebiasaan yang umum. Jika praktik ini tidak dilarang secara tegas dalam hukum Islam, maka bisa dianggap sah selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah yang lain.
Argumen Kontra: Termasuk Riba
Namun, ada pula ulama yang berpendapat bahwa menentukan upah di awal dengan harga sekian tanpa menggunakan sistem bagi hasil termasuk riba. Argumen-argumen yang dikemukakan oleh mereka antara lain:
1. Riba al-Fadl: Menurut pandangan ini, menentukan upah di awal dengan harga sekian tanpa menggunakan sistem bagi hasil dapat masuk dalam kategori riba al-fadl. Riba al-fadl adalah pertukaran barang sejenis dengan tambahan atau penambahan tertentu. Dalam konteks upah, hal ini bisa terjadi jika nilai jasa yang diberikan oleh pekerja dianggap setara dengan harga yang ditentukan di awal, namun kemudian pihak yang membayar merasa mendapatkan kelebihan atau keuntungan tambahan.
2. Keuntungan Tetap: Beberapa ulama berpendapat bahwa jika upah telah ditetapkan di awal tanpa memperhitungkan hasil kerja atau keuntungan yang dihasilkan, maka pemberi upah dapat memanfaatkan posisi kuatnya untuk mendapatkan keuntungan tetap tanpa adanya usaha yang adil dan seimbang.
3. Perilaku Pemerasan: Penentuan upah di awal dengan harga sekian tanpa sistem bagi hasil juga berpotensi menciptakan perilaku pemerasan, terutama jika pihak yang membayar upah memiliki kekuatan pasar yang lebih besar dibandingkan dengan penerima upah. Hal ini bisa mengakibatkan ketidakadilan dalam pembayaran dan eksploitasi pekerja.
Kesimpulan
Hukum menentukan upah di awal dengan harga sekian tanpa menggunakan sistem bagi hasil masih menjadi perdebatan di kalangan ulama fiqh muamalah. Beberapa ulama berpendapat bahwa praktik ini tidak termasuk riba, karena dianggap sebagai pertukaran jasa dengan upah yang telah disepakati dengan sukarela dan tidak melanggar prinsip-prinsip ekonomi Islam lainnya. Namun, ada juga ulama yang berpandangan sebaliknya, yaitu bahwa praktik ini termasuk riba karena memiliki potensi riba al-fadl dan memungkinkan pihak yang membayar upah untuk memanfaatkan posisi kuatnya. Oleh karena itu, perdebatan ini menunjukkan kompleksitas dalam menafsirkan hukum ekonomi Islam dan pentingnya kontekstualisasi dalam penerapannya di tengah-tengah masyarakat yang beragam.
Referensi:
1. Al-Suyuti, J. (1999). Al-Ashbah wa al-Nazair. Beirut: Dar al-Fikr.
2. Ibn Qudamah, M. (1997). Al-Mughni. Beirut: Dar al-Fikr.
3. Ibn Rushd, A. (2018). Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
4. Al-Qaradawi, Y. (2004). Fiqh Al Zakah. Beirut: Dar al-Nafaes.
5. Al-Nawawi, M. (1997). Rawdat al-Talibin. Beirut: Dar al-Fikr.
Komentar
Posting Komentar