Saat ini, moderasi beragama telah menjadi topik yang hangat di kalangan masyarakat. Banyak orang percaya bahwa moderasi beragama dapat menjadi jalan tengah yang baik untuk menciptakan harmoni antaragama. Namun, tidak dapat disangkal bahwa moderasi beragama juga memiliki kelemahan yang serius, terutama dalam hal memunculkan pandangan yang bias.
Moderasi beragama, dalam praktiknya, cenderung memihak atau
mempromosikan satu agama tertentu. Hal ini dapat memunculkan pandangan yang
tidak adil dan merugikan bagi penganut agama lain atau minoritas agama. Ketika
moderasi beragama digunakan untuk mengarahkan preferensi terhadap satu agama,
maka hal ini sejatinya menghambat keragaman agama dan mengabaikan hak asasi
manusia yang mendasar, seperti kebebasan berpikir, berpendapat, dan beragama.
Sebagai contoh, beberapa negara menerapkan moderasi beragama
dengan menggunakan agama mayoritas sebagai landasan utama dalam kebijakan
publik mereka. Dalam kasus ini, pandangan dan kepentingan kelompok agama
minoritas sering diabaikan atau tidak diakui dengan benar. Akibatnya, kelompok
minoritas tersebut dapat mengalami diskriminasi dan penganiayaan, serta merasa
tidak dihargai sebagai warga negara yang setara.
Dalam rangka membangun masyarakat yang inklusif dan adil,
penting bagi kita untuk mengakui keberagaman agama dan keyakinan sebagai
kekayaan yang harus dihargai. Moderasi beragama seharusnya tidak digunakan
sebagai alat untuk memihak atau mendiskriminasi kelompok agama tertentu.
Sebaliknya, kita perlu mempromosikan dialog yang terbuka, memperkuat pendidikan
agama yang mengajarkan toleransi, dan melindungi hak asasi manusia yang
mendasar dalam konteks kebebasan beragama.
Dalam mengatasi pandangan yang bias dalam moderasi beragama,
kita harus berusaha untuk menciptakan kerangka kerja yang adil dan inklusif.
Ini akan memastikan bahwa setiap individu, terlepas dari agama atau
keyakinannya, memiliki kesempatan yang sama dalam mengamalkan kepercayaan
mereka tanpa takut diabaikan atau diskriminasi. Dengan menghargai perbedaan dan
memerangi pandangan yang bias, kita dapat membangun masyarakat yang harmonis
dan saling menghormati.
Referensi:
Asad, T. (2006). Formations of the Secular: Christianity,
Islam, Modernity. Stanford University Press.
Bagir, Z. (2014). Fiqh moderat: Islam untuk kehidupan yang
adil, damai, dan toleran. Mizan.
Hefner, R. W. (2000). Civil Islam: Muslims and
Democratization in Indonesia. Princeton University Press.
Kuru, A. T. (2007). Secularism and state policies toward
religion: The United States, France, and Turkey. Cambridge University Press.
Komentar
Posting Komentar