Indonesia sebagai negara agraris yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, memiliki sejarah panjang dalam penerapan fiqih agraria. Di Indonesia, perkembangan fiqih agraria terkait erat dengan sejarah perjuangan rakyat dalam memperjuangkan hak atas tanah.
Sejarah panjang penjajahan dan kolonialisme di Indonesia
telah memberikan dampak yang signifikan terhadap kepemilikan tanah dan hak
rakyat atas tanah. Pada masa penjajahan, tanah di Indonesia dikuasai oleh
Belanda dan diperuntukkan bagi kepentingan pemerintah kolonial dan kaum elite
pribumi yang berkolaborasi dengan pemerintah kolonial. Masyarakat adat dan
petani menjadi korban atas sistem penguasaan tanah yang tidak adil tersebut.
Perjuangan rakyat Indonesia untuk memperjuangkan hak atas
tanah dan sumber daya alam lainnya dimulai sejak awal abad ke-20. Salah satu
gerakan awal yang mencuat adalah gerakan agraris, yaitu gerakan untuk
memperjuangkan hak rakyat atas tanah dan sumber daya alam yang dikuasai oleh
pemerintah kolonial. Gerakan ini kemudian terus berkembang dan mempengaruhi
perkembangan fiqih agraria di Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, terjadi beberapa perubahan dalam
sistem penguasaan tanah di Indonesia. Namun, masalah kepemilikan tanah dan
sumber daya alam masih menjadi isu penting yang perlu diatasi. Pada tahun
1960-an, pemerintah Indonesia mulai memperkenalkan kebijakan reforma agraria
yang bertujuan untuk memperbaiki sistem kepemilikan tanah yang tidak adil dan
mengembangkan pertanian nasional.
Dalam perkembangannya, fiqih agraria di Indonesia semakin
berkembang dan memperhatikan kondisi masyarakat lokal serta sistem hukum yang
berlaku di Indonesia. Beberapa ulama dan cendekiawan muslim Indonesia, seperti
Azyumardi Azra dan M. Dawam Rahardjo, telah meneliti dan mengembangkan konsep
fiqih agraria yang relevan dengan kondisi Indonesia.
Namun, implementasi fiqih agraria di Indonesia tidak selalu
berjalan lancar. Masih terdapat berbagai persoalan terkait dengan penguasaan
tanah negara, seperti konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan atau
antar masyarakat itu sendiri, masalah pembebasan lahan yang belum selesai,
serta rendahnya produktivitas pertanian dan perkebunan. Oleh karena itu,
diperlukan upaya-upaya untuk terus meningkatkan implementasi fiqih agraria di
Indonesia, seperti dengan memperkuat regulasi dan penegakan hukum, meningkatkan
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan tanah, serta memberikan pendidikan
dan pelatihan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan.
Dalam implementasi fiqih agraria di Indonesia, penguasaan
tanah negara menjadi salah satu isu yang penting. Pasal 33 UUD 1945 menyatakan
bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam
implementasinya, pemerintah telah menetapkan berbagai regulasi dan kebijakan yang
terkait dengan penguasaan tanah negara, seperti Peraturan Pemerintah No. 40
tahun 1996 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Undang-Undang No. 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang kemudian diubah
oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961. UUPA membagi tanah menjadi dua
kategori, yaitu tanah negara dan tanah hak. Pada awalnya, penguasaan tanah
negara hanya diberikan kepada pemerintah dan tidak dapat dialihkan kepada pihak
lain. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, regulasi mengenai penguasaan
tanah negara mengalami banyak perubahan dan kontroversi.
Kebijakan agraria di Indonesia berkaitan dengan regulasi dan
kebijakan pemerintah dalam pengaturan pemanfaatan, kepemilikan, dan penguasaan
tanah di Indonesia. Sejak masa penjajahan hingga kemerdekaan, kebijakan agraria
telah mengalami banyak perubahan. Namun, masih banyak masalah yang terjadi
dalam implementasi kebijakan agraria di Indonesia, seperti konflik lahan,
kesenjangan ekonomi, dan kebijakan yang kurang memihak pada rakyat kecil.
Salah satu aspek penting dalam kebijakan agraria adalah
penguasaan tanah negara. Tanah negara merupakan tanah yang dikuasai oleh
pemerintah dan digunakan untuk kepentingan umum, seperti infrastruktur,
perkebunan, dan kawasan konservasi. Prinsip fiqih agraria menegaskan bahwa
kepemilikan tanah negara adalah hak publik yang harus dilindungi dan
dimanfaatkan secara bijaksana untuk kesejahteraan masyarakat.
Sejak reformasi, pemerintah Indonesia telah berupaya untuk
mengubah kebijakan agraria yang lebih memihak rakyat kecil. Salah satu
kebijakan yang diambil adalah program redistribusi tanah kepada petani miskin
dan rakyat kecil yang belum memiliki tanah. Namun, implementasi kebijakan
tersebut masih banyak mengalami kendala, seperti kurangnya data akurat mengenai
kepemilikan tanah dan konflik lahan dengan pihak swasta.
Sumber:
- Masyhud, A., & Sutiyono, A. (2018). Konsep agraria Islam dan implementasinya di Indonesia. Jurnal Studi Islam, 11(1), 99-120.
- Mardikanto, T. (2014). Agrarian problems and land reform in Indonesia. Journal of Contemporary Asia, 44(4), 684-707.
- Indrawan, R. (2016). Land tenure system in Indonesia: Issues and challenges. Land Tenure Journal, 1(1), 109-128.
- Fatkhurozi, M. (2018). Fiqh Agraria Dalam Perspektif Hukum Indonesia. Jurnal Al-Mazahib, 11(2), 121-132.
- Suyud, A. (2016). Penguasaan Tanah Negara dalam Perspektif Hukum Agraria Indonesia. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 23(2), 245-263.
- Azra, Azyumardi. (2015). "Fiqih Agraria: Perspektif Islam dan Reforma Agraria di Indonesia". Pustaka Alvabet.
- Rahardjo, M. Dawam. (2007). "Fiqh Tanah Indonesia: Beberapa Catatan Teoritis dan Praktis". Paramadina.
Komentar
Posting Komentar