Langsung ke konten utama

Prinsip Kesatuan dan Terpisahnya Transaksi Menurut Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanbali

 

Menurut pendapat Imam Syafi'i dan Imam Hanbali membagi transaksi maksudnya adalah menjual barang yang bisa dijual dan tidak bisa dijual dalam satu transaksi dengan harga yang sama. Kasus seperti ini terbagi menjadi tiga macam: 

Pertama, menjual barang yang jelas dan tidak jelas dengan satu harga. Contohnya, penjual mengatakan, "Saya jual kepadamu kitab ini dan kitab yang lain." Kedua buku itu adalah miliknya dengan harga seratus ribu, maka hukum transaksi ini tidak sah terhadap kedua buku itu, karena barang yang tidak jelas tidak boleh dijual karena ketidakjelasannya, sementara buku yang jelas tadi tidak diketahui harganya dan sulit untuk diketahui. Pasalnya, mengetahui harga buku itu hanya dengan kredit terhadap harga kedua buku, sementara buku yang tidak jelas tidak bisa dinilai, dan pada gilirannya susah untuk mengkreditnya.

Kedua, hendaknya dua barang yang dijual adalah barang yang dibagi harganya sesuai dengan bagian-bagiannya, seperti satu barang yang dimiliki dua orang, lalu salah seorang dari pemiliknya menjual barang itu tanpa izin dari pemilik lainnya. misalnya menjual dua dua hektar tanah dari satu area yang sama lalu dijual oleh orang yang hanya memiliki separuhnya saja, maka menurut pendapat yang paling benar hukum transaksi ini sah hanya pada tanah milik penjualnya saja dengan sebagian harganya dan tidak berlaku pada tanah milik orang lain. Sebab, masing-masing tanah itu punya hukum tersendiri ketika dijual. Kemudian, jika kedua tanah itu digabung maka masing-masing memiliki hukumnya tersendiri, maka telah menjadi kesepakatan ulama ada hak syufah di situ, sama halnya jika dijual satu-persatu.

Ketiga, hendaknya kedua barang itu adalah barang yang jelas, harganya tidak bisa dipecah atau dipisah sesuai dengan bagian-bagian barang itu. Transaksi mencakup barang halal dan haram seperti menjual cuka dan minuman keras, kambing dan babi, bangkai dan binatang yang disembelih. Hukum transaksi ini menurut pendapat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang adalah sah pada barang-barang yang halal saja dan batal pada barang yang haram. Adapun prosedur penentuan harga pada masing-masing barang di atas ada tiga menurut Syafi'i, yaitu menentukan harga atas dua barang dengan menganggapnya bagian-bagian kecil, minuman keras sebagai cuka, babi sebagai kambing, dan bangkai sebagai binatang yang disembelih.

Jika transaksi mencakup barang milik penjual sendiri dan barang milik orang lain, maka harganya tidak bisa dipecah. Menurut pendapat paling benar dari Syafi'i, transaksi jual beli hanya sah pada barang yang dimiliki penjualnya dan tidak sah pada barang milik orang lain, sedang harga ditentukan sesuai nilai barang masing-masing.

Menyangkut hak pilih dalam hal pemisahan transaksi, Hanbali dan Syafi'i berpendapat bahwa transaksi akan sah pada sebagian transaksi jika pembeli mengetahui keadaan barang, seperti pembeli mengetahui kalau barang yang dibelinya adalah barang yang bisa dipisah harganya sesuai bagian-bagian barang, maka ia tidak punya hak pilih lagi karena ia telah membelinya dengan penuh kesadaran mengenai status transaksi yang dia lakukan. Namun, kalau pembeli itu tidak mengetahui status barang seperti seseorang membeli suatu barang yang dikiranya milik penuh penjual dan ternyata pemilik itu hanya memiliki setengahnya saja, atau ia membeli dua barang lalu diketahui bahwa penjual hanya memiliki satu barang saja dan lainnya milik orang lain, maka untuk kasus ini pembeli memiliki hak pilih, yaitu berhak meneruskan atau membatalkan jual beli karena transaksinya terbagi pada sebagiannya saja. Kemudian, kalau penjual masih memegang salah satu barang sedang pembeli telah memegang barang lainnya, maka penjual tidak memiliki hak pilih karena ia telah rela dengan hilangnya hak miliknya dari barang yang boleh dijual dengan sebagian harga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ayat-Ayat Al-Quran tentang Teknologi Modern: Menggali Hikmah dan Panduan dalam Era Digital

Dalam era modern ini, perkembangan teknologi telah membawa dampak signifikan pada kehidupan manusia. Teknologi modern seperti internet, smartphone, dan media sosial telah merubah cara kita berkomunikasi, bekerja, dan berinteraksi. Dalam menghadapi tantangan dan manfaat yang ditawarkan oleh teknologi modern, banyak orang mencari panduan moral dan etika dalam ajaran agama. Al-Quran, sebagai kitab suci umat Islam, memiliki hikmah dan pedoman yang dapat diterapkan dalam konteks teknologi modern. Dalam narasi ini, kami akan menggali ayat-ayat Al-Quran yang relevan dengan teknologi modern dan menguraikan hikmah serta panduan yang dapat diambil dari ayat-ayat tersebut. I. Pemanfaatan Teknologi untuk Pencarian Ilmu Ayat Al-Quran yang pertama yang relevan dengan teknologi modern adalah ayat yang menekankan pentingnya mencari ilmu. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Mujadalah (58:11), "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa d...

Konsep Ruang dan Waktu dalam Al-Qur'an: Perspektif Ilmiah dan Keagamaan

Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bukan hanya merupakan panduan spiritual, tetapi juga menyediakan wawasan tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk konsep ruang dan waktu. Dalam Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang membahas tentang kebesaran Allah SWT yang meliputi dimensi ruang dan waktu. Artikel ini akan mengeksplorasi konsep ruang dan waktu dalam Al-Qur'an dari dua perspektif: ilmiah dan keagamaan. 1. Konsep Ruang dalam Al-Qur'an Dalam Al-Qur'an, Allah SWT sering disebutkan sebagai Zat Yang Maha Luas, mencerminkan pemahaman tentang dimensi ruang yang tak terbatas. Misalnya, dalam Surah Al-Baqarah (2:255), Allah berfirman: "Dan Dia meliputi langit dan bumi." Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak terbatas oleh ruang, tetapi sebaliknya, ruang di dalam ciptaan-Nya. Konsep tentang keberadaan Allah yang melampaui dimensi ruang telah membangkitkan rasa kagum dan ketakjuban di kalangan cendekiawan Muslim. Selain itu, Al-Qur'an juga menggambarkan dimensi ...

Menggali Perspektif Islam tentang "Cewe Friendly": Pertimbangan Mengapa Mereka Tidak Ideal Sebagai Pasangan

Dalam pandangan Islam, hubungan antara pria dan wanita memiliki batasan yang jelas dan prinsip-prinsip yang diatur oleh ajaran agama. Dalam era modern ini, istilah "cewe friendly" telah menjadi populer untuk menggambarkan wanita yang sangat ramah dan akrab dengan banyak pria. Namun, dalam konteks hubungan dan pernikahan, ada beberapa alasan yang menunjukkan bahwa menjadi pasangan dengan seorang "cewe friendly" mungkin kurang baik. Artikel ini akan membahas alasan-alasan tersebut dengan merujuk pada prinsip-prinsip Islam dan pendekatan agama terhadap hubungan antara pria dan wanita. 1. Penciptaan Batasan dalam Hubungan Dalam Islam, terdapat pandangan bahwa hubungan antara pria dan wanita seharusnya didasarkan pada batasan-batasan yang jelas. Sebuah hubungan yang serius dan bertujuan menuju pernikahan seharusnya dibangun di atas dasar saling menghormati, menjaga batasan fisik dan emosional, serta berkomitmen dalam ikatan pernikahan. Wanita yang terlalu ramah dan akrab...