Langsung ke konten utama

Pembagian Hukum Wajib

Pembagian Hukum Wajib

Pembagian wajib dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu dari segi waktu pelaksanannya, siapa yang dituntut, berapa yang dituntut dan apanya yang dituntut. Masing-masing tuntutan tersebut akan menghasilkan pembagian lagi.

1. Waktu Pelaksanaan

Dari segi segi waktu pelaksanaannya, wajib dibagi menjadi dua, yakni:

a. Wajib muthlaq, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditangguhkan sampai waktu yang ia sanggup melakukannya. Misalnya seperti mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal karena uzur. Ia wajib mengqadhanya dan dapat dilakukan kapan saja selama mempunyai kesanggupan.

b. Wajib muaqqat, yaitu kewajiban yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah jika dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan. segi rentang waktu, wajib muaqqat menjagi tiga, yaitu: muwassa, mudhayyaq, dan dzu syahhaini.

  • Wajib muwassa, yaitu kewâjiban yang waktu untuk melakukan kewajiban itu melebihi waktu pelaksanaan kewajiban itu sendiri. Misalnya seperi shalat Zuhur. Dimana waktu yang disediakan untuk shalat Zuhur itu sendiri dari tergelincirnya matahari di atas kepala, sampai ukuran bayangan dua kali tinggi kita, diperkirakan memiliki durasi waktu kurang lebih 2 jam. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan shalat Zuhur itu sendiri kurang dari 10 menit. Dalam bentuk wajib muwassa’ini diberi kela pangan bagi mukalaf untuk melaksanakan kewajiban dalam rentangan waktu yang ditentukan itu
  • Wajib mudhayyaq, yaitu suatu kewajiban yang menyamai waktu kewajiban itu sendiri, artinya pelaksanaan kewajiban sama dengan waktu yang disediakan untuk melaksanakan wajib itu. Seperti misalnya puasa Ramadhan. Waktu pelaksanaan puasa wajib itu dilakukan di bulan Ramadhan dan itu dilakukan satu bulan. Dalam pelaksanaan puasa wajib ini tidak bisa dilakukan di luar bulan tersebut.
  • Wajib dzu syahhaini,  yaitu kewajiban yang memiliki titik kesamaan dua bentuk. Dari satu segi ia disebut muwassa’ dan dari segi lain ia adalah mudhayyaq. Misalnya seperti ibadah haji. Ibadah haji hanya dilakukan satu kali dalam satu tahun dan tidak dapat dilaksanakan haji lainnya diluar waktu yang telah ditentukan, sehingga bisa disebut “mudhayyaq”. Dari segi pelak sanaannya, ibadah haji memiliki waktu yang lenih sempit waktunya daripada waktu yang disediakan untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji, sehingga bisa disebut muwassa’

2. Dari segi pihak yang dituntut

Dari segi pihak yang dituntut untuk melaksanakan kewajiban, wajib 

terbagi dua, yaitu:

a. Wajib ‘aini (kewajiban secara pribadi), yaitu Sesuatu yang dituntut oleh syara untuk melaksanakannya dari setiap pribadi mukalaf. Kewajiban itu harus dilaksanakan sendiri dan tidak bisa diwakilkan oleh orang lain. Seperti misalnya shalat dan puasa.

b. Wajib kifayah (kewajiban bersifat kelompok), yaitu  Sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum melakukannya dari sejumlah mukalaf dan tidak dari setiap peribadi mukalaf. Apabila sebagian atau beberapa orang mukalaf telah melaksanakan kewajiban itu, maka gugur kewajiban dari sebagian lainnya yang tidak melaksanakannya. Tetapi apabila tidak ada yang melaksanakannya sama sekali, maka semuanya mendapatkan dosa. 

3. Dari segi kadar yang dituntut

Dari segi jumlah atau kadar yang dituntut terbagi menjadi dua, yaitu: 

a. Wajib muhaddad, yaitu sesuatu yang dinyatakan oleh pembuat hukum kewajibannya  dengan kadar yang telah ditentukan, dengan arti bahwa mukalaf belum terlepas dari tanggung jawabnya kecuali bila ia  telah melaksanakannya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan pembuat hukum (syâri’). Seperti misalnya zakat fitrah. Zakat fitrah ini takarannya sudah ditentukan, yakni 2,5 kg. 

b.  Wâjib ghairu muhaddad,  yaitu Suatu kewajiban yang pelaksanaannya tidak ditentukan ukurannya oleh pembuat hukum (syâri’). Seperti misalnya nafkah untuk kerabat. Nafkah kerabat termasuk kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya. 

4. Dari segi bentuk perbuatan yang dituntut

Dari segi bentuk perbuatan yang dituntut, wajib terbagi menjadi dua, yaitu: 

a. Wajib mu‘ayyan (kewajiban yang tertentu), yaitu Apa saja yang dituntut oleh pembuat hukum dengan suatu perbuatan yang telah ditentukan. Artinya, terdapat subjek hukum baru yang dinyatakan telah menunaikan tuntutan bila suatu yang tertentu itu telah dilaksanakannya dan tidak ada pilihan untuk melakukan yang lainnya. Seperti misalnya membayar utang. Yang harus dilakukan oleh orang yang berutang adalah melunasi utangnya. 

b.  Wajib mukhayyar (wajib alternatif), yaitu Sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum untuk dilaksanakan dengan memilih salah satu di antara yang telah ditentukan. Artinya, tanggung jawab dari yang dituntut baru dinyatakan terlaksana bila Ia telah melakukan satu pilihan dari beberapa kemungkinan yang ditentukan. pilihan di antara pembebasan tawanan atau uang tebusan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ayat-Ayat Al-Quran tentang Teknologi Modern: Menggali Hikmah dan Panduan dalam Era Digital

Dalam era modern ini, perkembangan teknologi telah membawa dampak signifikan pada kehidupan manusia. Teknologi modern seperti internet, smartphone, dan media sosial telah merubah cara kita berkomunikasi, bekerja, dan berinteraksi. Dalam menghadapi tantangan dan manfaat yang ditawarkan oleh teknologi modern, banyak orang mencari panduan moral dan etika dalam ajaran agama. Al-Quran, sebagai kitab suci umat Islam, memiliki hikmah dan pedoman yang dapat diterapkan dalam konteks teknologi modern. Dalam narasi ini, kami akan menggali ayat-ayat Al-Quran yang relevan dengan teknologi modern dan menguraikan hikmah serta panduan yang dapat diambil dari ayat-ayat tersebut. I. Pemanfaatan Teknologi untuk Pencarian Ilmu Ayat Al-Quran yang pertama yang relevan dengan teknologi modern adalah ayat yang menekankan pentingnya mencari ilmu. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Mujadalah (58:11), "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa d...

Konsep Ruang dan Waktu dalam Al-Qur'an: Perspektif Ilmiah dan Keagamaan

Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bukan hanya merupakan panduan spiritual, tetapi juga menyediakan wawasan tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk konsep ruang dan waktu. Dalam Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang membahas tentang kebesaran Allah SWT yang meliputi dimensi ruang dan waktu. Artikel ini akan mengeksplorasi konsep ruang dan waktu dalam Al-Qur'an dari dua perspektif: ilmiah dan keagamaan. 1. Konsep Ruang dalam Al-Qur'an Dalam Al-Qur'an, Allah SWT sering disebutkan sebagai Zat Yang Maha Luas, mencerminkan pemahaman tentang dimensi ruang yang tak terbatas. Misalnya, dalam Surah Al-Baqarah (2:255), Allah berfirman: "Dan Dia meliputi langit dan bumi." Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak terbatas oleh ruang, tetapi sebaliknya, ruang di dalam ciptaan-Nya. Konsep tentang keberadaan Allah yang melampaui dimensi ruang telah membangkitkan rasa kagum dan ketakjuban di kalangan cendekiawan Muslim. Selain itu, Al-Qur'an juga menggambarkan dimensi ...

Tiga Ras Manusia dari Keturunan Nabi Nuh

Ras manusia memiliki sejarah yang panjang dan kompleks, dengan beragam faktor yang membentuk keberagaman budaya, bahasa, dan karakteristik fisik di seluruh dunia. Salah satu narasi penting dalam agama-agama Samawi adalah kisah Nabi Nuh (Noah) dan banjir besar yang diutus Allah sebagai hukuman terhadap umat manusia yang telah menyimpang dari ajaran-Nya. Dalam kisah tersebut, Nabi Nuh dikatakan memiliki tiga anak: Sem, Ham, dan Yafet. Tiga anak Nabi Nuh ini dipercaya sebagai leluhur dari tiga ras manusia yang berbeda. Dalam artikel ini, kami akan mengulas lebih lanjut mengenai tiga ras manusia tersebut: Semitik, Hamitik, dan Yafetik. 1. Ras Semitik Dalam naskah agama-agama Samawi, Sem diyakini sebagai leluhur dari ras Semitik. Ras ini meliputi bangsa-bangsa di Timur Tengah seperti bangsa Ibrani (Yahudi), Arab, dan bangsa Aram. Para keturunan Sem dikenal dengan budaya yang kaya dan sejarah yang panjang. Mereka memiliki pengaruh yang signifikan dalam perkembangan agama dan bahasa di wilaya...