Langsung ke konten utama

Pembagian Hukum Mubah

Pembagian Hukum Mubah

Pada asalnya memang hukum mubah adalah kebolehan untuk memilih antara melakukan atau meninggalkannya tanpa dosa atau pahala. Namun dalam beberapa hal bisa saja menyerupai wajib kifayah yang artinya untuk satu pribadi tertentu hukumnya hanya mubah atau untuk satu waktu tertentu hukumnya mubah dan tidak berdosa meninggalkannya. Tetapi apabila ditinggalkan oleh semua orang atau ditinggalkan dalam segala waktu, maka dapat diberi dosa atau dinilai dengan pahala. Seperti misalnya makan. Secara umum umum memanah orang yang tidak makan tidak diancam dengan dosa, tetapi jika tidak makan secara berkelanjutan maka akan membawa menuku kematian, maka jadilah dia berdosa. Seperti contoh lain misalnya menikah. menurut sebagian ulama hukumnya hanya mubah dan tidak berdosa apabila ada orang yang mau menikah. Tetapi bila semua orang sepakat untuk tidak menikah maka sehingga tidak ada lagi kelanjutan manusia, maka hukumnya bisa menjadi haram.

Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat mubah dan hanya ada dalam hal memilih macam dan waktunya, bukan memilih untuk tidak untuk melakukan perbuatanya. contohnya seperti, seorang mukallaf berhak memilih siapa yang akan dinikahinya dan kapan waktunya dia mau menikah, bukan memilih prinsip kawin atau tidak kawin. Begitu juga Ia berhak memilih di antara kemungkinan waktu dan sasaran.

Seperti yang telah dijelaskan di Atas, menurut Imam Asy-Syathibi mubah dibagi menjadi empat macam, yaitu:

  1. Mubah yang menuntut harus diperbuat. Mubah dalam bentuk ini disebut mubah dalam bentuk bagian, tetapi dituntut berbuat secara keseluruhan. Umpamanya makan dan kawin. Mubâh dalam bentuk ini tidak boleh ditinggalkan secara menyeluruh.
  2. Mubah yang menuntut untuk meninggalkan. Mubah bentuk ini disebut: “mubah secara juz‘i tetapi dilarang secara keseluruhan” seperti misalnya bermain. Perbuatan ini dalam waktu tertentu hukumnya mubâh, tetapi jika dilakukan sepanjang waktu, hukumnya menjadi haram.
  3. Mubah yang tidak mengikuti sesuatu. Mubah bentuk ini dituntut juga untuk meninggalkan karena berarti ia mengikuti sesuatu yang menghabiskan waktu tanpa manfaat agama, maupun dunia.
  4. Mubah yang dituntut untuk meninggalkan sesuatu. Kondisinya dilihat sebagaimana pada poin di atas, dan ini juga dituntut untuk meninggalkannya.

Ketentuan di atas sebenarnya tidak bertentangan dengan ketentuan mubah pada umumnya. Ketentuan yang sama antara dua pihak itu semata-mata dilihat dari segi mubah itu sendiri, sedangkan mubah yang memiliki kemungkinan tuntutan atau larangan adalah apabila Ia memandang pada pengaruh luar. Jika hanya memandang pada mubah itu sendiri dinamai “mubah dalam arti juz'i”; sedangkan bila memandang dari hal-hal yang datang dari luar, itulah yang disebut “mubah yang dituntut secara keseluruhan”.

Di antara hukum mubah ada yang kemubahannya itu bersifat relatif, dalam arti sebenarnya hukumnya terlarang; tetapi dalam keadaan tertentu dapat dilakukan oleh mukalaf tanpa resiko dosa. Hal ini dapat dibedakan (dibagi) kepada beberapa macam:

1. Hukum mubah yang pada dasarnya haram tetapi dalam kondisi tertentu hukum haram tersebut ditiadakan sehingga hukumnya menjadi mubah. Seperti misalnya darah manusia adalah haram. Tetapi hukum ini dicabut untuk darah orang murtad, bahkan berbalik hukumnya menjadi harus ditumpahkan.

2. Hukum mubah yang pada dasarnya adalah haram, namun dalam keadaan tertentu mukalaf dimaafkan atas perbuatannya dan tidak berdosa mengerjakannya. Hal ini hanya terjadi dalam beberapa bentuk:

  • Apa saja yang berlaku dalam masa jahiliyah yang kemudian dinyatakan sudah tidak berlaku lagi, seperti memadu dua orang perempuan yang bersaudara. Hukum kemubahan ini  tidak berlaku lagi sekarang dengan turunnya dalil yang mengharamkannya.
  • Apa saja yang dilakukan oleh seorang mukalaf yang ia tidak tahu haram nya karena Ia baru masuk Islam dan belum mengetahui perbuatan yang diharamkan. seperti misalnya pernikahan antara dua orang yang bersaudara yang masing-masing tidak mengetahui keadaan persaudaraannya.
  • Perbuatan tersebut dilakukannya dalam keadaan darurat sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya. Hukum mubah terletak pada diangkatkan nya dosa perbuatan tersebut.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ayat-Ayat Al-Quran tentang Teknologi Modern: Menggali Hikmah dan Panduan dalam Era Digital

Dalam era modern ini, perkembangan teknologi telah membawa dampak signifikan pada kehidupan manusia. Teknologi modern seperti internet, smartphone, dan media sosial telah merubah cara kita berkomunikasi, bekerja, dan berinteraksi. Dalam menghadapi tantangan dan manfaat yang ditawarkan oleh teknologi modern, banyak orang mencari panduan moral dan etika dalam ajaran agama. Al-Quran, sebagai kitab suci umat Islam, memiliki hikmah dan pedoman yang dapat diterapkan dalam konteks teknologi modern. Dalam narasi ini, kami akan menggali ayat-ayat Al-Quran yang relevan dengan teknologi modern dan menguraikan hikmah serta panduan yang dapat diambil dari ayat-ayat tersebut. I. Pemanfaatan Teknologi untuk Pencarian Ilmu Ayat Al-Quran yang pertama yang relevan dengan teknologi modern adalah ayat yang menekankan pentingnya mencari ilmu. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Mujadalah (58:11), "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa d...

Konsep Ruang dan Waktu dalam Al-Qur'an: Perspektif Ilmiah dan Keagamaan

Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bukan hanya merupakan panduan spiritual, tetapi juga menyediakan wawasan tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk konsep ruang dan waktu. Dalam Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang membahas tentang kebesaran Allah SWT yang meliputi dimensi ruang dan waktu. Artikel ini akan mengeksplorasi konsep ruang dan waktu dalam Al-Qur'an dari dua perspektif: ilmiah dan keagamaan. 1. Konsep Ruang dalam Al-Qur'an Dalam Al-Qur'an, Allah SWT sering disebutkan sebagai Zat Yang Maha Luas, mencerminkan pemahaman tentang dimensi ruang yang tak terbatas. Misalnya, dalam Surah Al-Baqarah (2:255), Allah berfirman: "Dan Dia meliputi langit dan bumi." Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak terbatas oleh ruang, tetapi sebaliknya, ruang di dalam ciptaan-Nya. Konsep tentang keberadaan Allah yang melampaui dimensi ruang telah membangkitkan rasa kagum dan ketakjuban di kalangan cendekiawan Muslim. Selain itu, Al-Qur'an juga menggambarkan dimensi ...

Tiga Ras Manusia dari Keturunan Nabi Nuh

Ras manusia memiliki sejarah yang panjang dan kompleks, dengan beragam faktor yang membentuk keberagaman budaya, bahasa, dan karakteristik fisik di seluruh dunia. Salah satu narasi penting dalam agama-agama Samawi adalah kisah Nabi Nuh (Noah) dan banjir besar yang diutus Allah sebagai hukuman terhadap umat manusia yang telah menyimpang dari ajaran-Nya. Dalam kisah tersebut, Nabi Nuh dikatakan memiliki tiga anak: Sem, Ham, dan Yafet. Tiga anak Nabi Nuh ini dipercaya sebagai leluhur dari tiga ras manusia yang berbeda. Dalam artikel ini, kami akan mengulas lebih lanjut mengenai tiga ras manusia tersebut: Semitik, Hamitik, dan Yafetik. 1. Ras Semitik Dalam naskah agama-agama Samawi, Sem diyakini sebagai leluhur dari ras Semitik. Ras ini meliputi bangsa-bangsa di Timur Tengah seperti bangsa Ibrani (Yahudi), Arab, dan bangsa Aram. Para keturunan Sem dikenal dengan budaya yang kaya dan sejarah yang panjang. Mereka memiliki pengaruh yang signifikan dalam perkembangan agama dan bahasa di wilaya...