Langsung ke konten utama

Hukum Taklifi

Hukum Taklifi

Hukum Taklifi adalah hukum yang sifatnya menuntut maki seorang mukallaf untuk melakukan, meninggalkan, atau memilih, tergantung dari hukum perkara itu sendiri. Adapaun hukum taklifi itu sendiri, yaitu seperti fardhu, wajib, sunnah, haram, makruh tahrim, makruh tanzih, dan mubah. Semua ini adalah jenis hukum taklifi untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Fardhu

Fardhu adalah tuntutan syara' yang harus dikerjakan karena tuntutan itu adalah tuntutan yang pasti berdasarkan dalil yang qath'i. Misalnya adalah rukun Islam yang lima yang tuntutannya berdasarkan Al-Qur'an. Termasuk juga perkara yang tuntutannya ditetapkan dengan sunnah yang mutawatir atau sunnah yang masyhur seperti membaca Al-Qur'an dalam shalat, begitu juga dengan perkara yang ditetapkan oleh ijma.

2. Wajib

Wajib adalah sesuatu yang dituntut oleh syara' untuk dilakukan dan tuntutan itu adalah tuntutan yang pasti berdasarkan dalil zhanni (kesamaran). Seperti misalnya zakat fitrah, shalat Witir, dan shalat Dua Hari Raya, karena perkara-perkara itu ditetapkan dengan dalil zhanni, yaitu dengan hadits ahad dari Nabi Muhammad saw.. Hukumnya adalah sama seperti fardhu, hanya saja orang yang mengingkarinya tidak menjadi kafir. 

Menurut jumhur ulama selain Imam Hanafi, Fardhu dan wajib mempunyai makna yang sama. Mereka mendefinisikan wajib sebagai sesuatu yang dituntut oleh syara' supaya melakukan dengan tuntutan yang pasti.

3. Mandub atau Sunnah

Mandub adalah sesuatu yang dituntut dari seorang mukallaf supaya dia melakukannya, tetapi tuntutan itu bukan tuntutan yang pasti, atau sifatnya hanya anjurn dengan kata lain orang yang melakukannya akan diberikan pujian kepada orang yang melakukannya, tetapi orang yang meninggalkannya tidak dicela. Seperti misalnya adalah mencatat utang, orang yang melakukannya akan diberi pahala dan orang yang meninggalkannya tidak dihukum, tetapi Rasulullah saw. mencela orang yang meninggalkannya.

Tetapi Menurut jumhur ulama selain golongan Hanafi, mandub juga dinamakan dengan istilah sunnah, nafilah, mustahab, tathawwui murghab fih, ihsan, dan husn. Ulama Hanafi membagikan mandub kepada mandub mu'akadah seperti misalnya shalat jum’at, mandub masyru' seperti misalnya puasa Senin dan Kamis, dan mandub za'id seperti misanlnya mengikut cara Rasulullah saw. dalam makan, minum, berjalan, tidur; memakai pakaian, dan lain-lain. 

Menurut Ibnu Abidin pengarang ad-Durr al-Mukhtar. Beliau berdua mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara mandub, mustahab, nafilah, dan tothawwuj. Meninggalkan perkara-perkara tersebut hukumnya adalah tindakan yang tidak utama (khilaf al-aula). Terkadang membiasakan perkara tersebut kemudian meninggalkannya begitu saja, maka dapat menjadi makruh.

4. Mubah

Mubah adalah suatu hukum syara' yang memberikan kebebasan kepada seorang mukallaf untuk melakukannya, atau meninggalkannya. Seperti misalnya makan dan minum. Hukum asal dari segala sesuatu tersebut adalah mubah selama tidak ada larangan atau pengharaman, maka hukumnya adalah tidak ada pahala dan tidak ada hukuman (siksa) bagi orang yang melakukannya, ataupun orang yang meninggalkannya. Kecuali dalam kondisi apabila Ia meninggalkan perkara mubah tersebut dapat menyebabkan kebinasaan. Maka dalam keadaan seperti itu, hukumnya menjadi wajib, dan meninggalkannya adalah haram.

5. Makruh Tahrim

Menurut ulama Hanafi, makruh tahrim adalah sesuatu yang dituntut oleh syara' agar ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak jelas dan pasti berdasarkan dalil zhanni atau melalui hadits ahad. Misalnya seperti membeli barang yang hendak dibeli oleh orang lain, seperti bertunangan dengan tunangan orang lain dan memakai sutra serta emas oleh lelaki. Maka orang yang meninggalkannya akan diberi pahala dan orang yang melakukannya akan dicela.

Menurut Madzhab Hanafi, maksud dari makruh adalah makruh tahrim. Menurut mereka sesuatu yang dilarang itu lebih dekat kepada keharaman, tetapi jika ada orang yang mengingkarinya maka tidaklah menjadi kafir.

6. Makruh Tanzih

Menurut ulama Hanafi, makruh tanzih adalah sesuatu yang dituntut oleh syara' untuk ditinggalkan tetapi tuntutannya tidak pasti dan tidak mengisyaratkan kepada hukuman. Seperti misalnya memakan daging kuda perang, mengambil wudhu dari air di bejana sisa minuman kucing atau burung yang memburu seperti elang dan gagak, dan meninggalkan sunnah-sunnah mu'akkad.

Adapun orang yang meninggalkannya, maka akan diberi pahala dan orang yang melakukannya akan dicela, tetapi tidak dihukum. Menurut ulama selain golongan Hanafi, makruh hanya memiliki  satu jenis saja, yaitu sesuatu yang dituntut oleh syara' supaya ditinggalkan dan tuntutan itu bukan tuntutan yang pasti. Orang yang meninggalkannya, maka akan dipuji dan diberi pahala. Adapun orang yang melakukannya maka tidak mendapat celaan dan juga tidak dihukum.

7. Haram

Haram adalah suatu perkara yang dituntut oleh syara' untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang jelas dan pasti. Menurut ulama Hanafi, haram adalah suatu perintah untuk meninggalkannya dan ditetapkan berdasarkan dalil yang qath'I. seperti misalnya perbuatan zina dan mencuri. Perkara-perkara tersebut hukumnya wajib untuk dijauhi dan pelakunya dihukum jika melakukannya. Perkata ini juga bisa disebut sebagai maksiat, dosa, keji, mazjur'anhu, dan mutawo'id 'alayhi. Orang yang mengingkari keharaman adalah kafir

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ayat-Ayat Al-Quran tentang Teknologi Modern: Menggali Hikmah dan Panduan dalam Era Digital

Dalam era modern ini, perkembangan teknologi telah membawa dampak signifikan pada kehidupan manusia. Teknologi modern seperti internet, smartphone, dan media sosial telah merubah cara kita berkomunikasi, bekerja, dan berinteraksi. Dalam menghadapi tantangan dan manfaat yang ditawarkan oleh teknologi modern, banyak orang mencari panduan moral dan etika dalam ajaran agama. Al-Quran, sebagai kitab suci umat Islam, memiliki hikmah dan pedoman yang dapat diterapkan dalam konteks teknologi modern. Dalam narasi ini, kami akan menggali ayat-ayat Al-Quran yang relevan dengan teknologi modern dan menguraikan hikmah serta panduan yang dapat diambil dari ayat-ayat tersebut. I. Pemanfaatan Teknologi untuk Pencarian Ilmu Ayat Al-Quran yang pertama yang relevan dengan teknologi modern adalah ayat yang menekankan pentingnya mencari ilmu. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Mujadalah (58:11), "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa d...

Konsep Ruang dan Waktu dalam Al-Qur'an: Perspektif Ilmiah dan Keagamaan

Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bukan hanya merupakan panduan spiritual, tetapi juga menyediakan wawasan tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk konsep ruang dan waktu. Dalam Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang membahas tentang kebesaran Allah SWT yang meliputi dimensi ruang dan waktu. Artikel ini akan mengeksplorasi konsep ruang dan waktu dalam Al-Qur'an dari dua perspektif: ilmiah dan keagamaan. 1. Konsep Ruang dalam Al-Qur'an Dalam Al-Qur'an, Allah SWT sering disebutkan sebagai Zat Yang Maha Luas, mencerminkan pemahaman tentang dimensi ruang yang tak terbatas. Misalnya, dalam Surah Al-Baqarah (2:255), Allah berfirman: "Dan Dia meliputi langit dan bumi." Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak terbatas oleh ruang, tetapi sebaliknya, ruang di dalam ciptaan-Nya. Konsep tentang keberadaan Allah yang melampaui dimensi ruang telah membangkitkan rasa kagum dan ketakjuban di kalangan cendekiawan Muslim. Selain itu, Al-Qur'an juga menggambarkan dimensi ...

Tiga Ras Manusia dari Keturunan Nabi Nuh

Ras manusia memiliki sejarah yang panjang dan kompleks, dengan beragam faktor yang membentuk keberagaman budaya, bahasa, dan karakteristik fisik di seluruh dunia. Salah satu narasi penting dalam agama-agama Samawi adalah kisah Nabi Nuh (Noah) dan banjir besar yang diutus Allah sebagai hukuman terhadap umat manusia yang telah menyimpang dari ajaran-Nya. Dalam kisah tersebut, Nabi Nuh dikatakan memiliki tiga anak: Sem, Ham, dan Yafet. Tiga anak Nabi Nuh ini dipercaya sebagai leluhur dari tiga ras manusia yang berbeda. Dalam artikel ini, kami akan mengulas lebih lanjut mengenai tiga ras manusia tersebut: Semitik, Hamitik, dan Yafetik. 1. Ras Semitik Dalam naskah agama-agama Samawi, Sem diyakini sebagai leluhur dari ras Semitik. Ras ini meliputi bangsa-bangsa di Timur Tengah seperti bangsa Ibrani (Yahudi), Arab, dan bangsa Aram. Para keturunan Sem dikenal dengan budaya yang kaya dan sejarah yang panjang. Mereka memiliki pengaruh yang signifikan dalam perkembangan agama dan bahasa di wilaya...