Langsung ke konten utama

Sejarah Pendiri Mazhab Syi'ah Imamiyyah

Sejarah Pendiri Mazhab Syi’ah Imamiyyah

Nama lengkap dari Imam Jafar Shadiq adalah Al Imam Abu Abdullah Ja'far Ash Shadiq Bin Muhammad Al. Baqir Bin Ali Zainal Abidin Ibnul Husain (800 H-48 H/699 M- 765 M). Beliau adalah pencetus mazhab Imammiyah. Adapun Abu Ja'far Muhammad ibnul Hasan ibnul Farrukh ash-Shaffar al-A'raj al-Qummi yang telah wafat pada tahun 290 H adalah orang yang menyebarkan madzhab Syi'ah Imamiyyah dalam bidang fiqih.

Kelompok Syi’ah Imamiyyah mengatakan bahwa 12 imam adalah maksum. Imam yang pertama adalah Imam Abul Hasan Ali al-Murtadha, dan yang terakhir adalah Muhammad al-Mahdi al-Hujjah, yang mereka anggab bahwa beliau tersembunyi dan beliaulah imam yang dianggap masih hidup.

Ibnu Farrukh merupakan tokoh yang menyebarkan fiqih Syi'ah Imamiyyah di wilayah Persia, kemudian beliau menulis sebuah kitab yang berjudul Baqta'ir ad-Darajat fi 'Ulum Aali Muhammad wa Ma Khashshahumullah bih. Kitab ini kemudian dicetak pada tahun 1285 H. sebelum kitab tersenut, ada kitab pertama yang ditulis dalam mazhab ini, yaitu kitab yang berjudul risalah al Halal wal-Haram yang ditulis oleh Ibrahim bin Muhammad Abu Yahya al-Madani al-Aslami yang dia riwayatkan dari Imam fa'far ash-Shadiq.

Kemudian anaknya, Ali ar-Ridha menulis kitab Fiqh ar-Ridha, kemudian dicetak pada tahun 1274H di Teheran. Setelah Ibnu Farrukh al-A'raj, kemudian muncul Muhammad bin Ya'qub bin Ishaq al-Kulaini ar-Razi yang merupakan syaikh dari kalangan Syi'ah yang wafat pada tahun 328 H. Beliau telah menulis sebuah buku yang berjudul al-Kafi fi 'IIm ad-Din. Di dalam kitab tersebut, terdapat 16.099 hadits yang diriwayatkan melalui Ahlul Bait. Bilangan ini lebih banyak daripada bilangan hadits yang terdapat dalam kutubu sittah (yaitual-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah).

Empat kitab yang menjadi pegangan Madzhab Syi'ah Imamiyyah adalah kitab yang berjudul al-Kafi; Man La Yahdhuruhu al-Faqih karya ash-shaduq al-Qummi; Tahdzib al-Ahkam karya yang ditulis oleh ath-Thusi dan al-lstibshar. Sama seperti mazhab Zaidiyyah, setelah Al-Qur'an, mereka tidak berpegang kecuali kepada hadits yang diriwayatkan oleh para imam mereka dari Ahlul Bait dalam menetapkan masalah-masalah fiqih. Mereka juga berpendapat bahwa pintu ijtihad terbuka. Mazhab Syiah Imamiyah menolak menggunakan metode qiyas dan mereka mengingkari ijma', kecuali jika salah satu dari imamnya termasuk yang ikut dalam ijma'. Rujukan hukum-hukum syara' yang digunakan oleh mereka adalah rujukan dari para imam golongannya sendiri dan tidak menerima rujukan diluar dari golongan mereka.

Mazhab Imamiyyah memiliki kedekatan dengan madzhab Syafi'i dan tidak berbeda dalam perkara-perkara yang masyhur yang terdapat dalam fiqih Ahli Sunnah. Kecuali ada sekitar 17 masalah. Di antara permasalahan yang populer adalah tentang bolehnya nikah Mut'ah. Perbedaan pendapat mereka kurang lebih hampir sama dengan pendapat di kalangan madzhab-madzhab fiqih seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pesebaran Madzhab Syi'ah Imamiyyah ini hingga sekarang di Iran dan lraq. Adapun perbedaan antara mereka dengan Ahli Sunnah tidaklah berasaskan kepada aqidah atau fiqih, tetapi berasaskan kepada soal pemerintahan dan imam. Di antara agenda utama Revolusi Iran tahun 1979 yang dikabarkan adalah mengenai penghapusan pertikaian dengan Ahli Sunnah dan menganggap bahwa umat Islam seluruhnya adalah umat yang satu.

Di antara permasalah-permasalah fiqih yang berbeda dengan Ahli Sunnah adalah diperbolehkannya menikah dalam jangka waktu tertentu atau disebut nikah Mut'ah, diwajibkannya mendatangkan saksi ketika perceraian, mengharamkan sembelihan Ahlul Kitab dan menikahi mereka (sama dengan pendapat Zaidiyah). Mengenai masalah harta warisan, mereka lebih mengutamakan anak paman seibu seayah daripada paman seayah. Mereka juga mengatakan bahwa tidak boleh menyapu khuf cukup menyapu kedua belah kaki saja dalam berwudhu. Dalam adzan mereka menambahkan beberapa kalimat, yaitu (أَشْهَدُ أَنْ عَلِيَّا وَلِيُّ اللَّهِ) yang artinya,"Aku bersaksi bahwa Ali adalah wali Allah" kemudian kalimat lainnya seperti (حَيَّ عَلَي خَيْرِ الْعَمَلِ) yang artinya, "Marilah melakuan perbuatan yang baik dan mengulang kalimat (لَا إلَهَ إلَّا اللَّه).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ayat-Ayat Al-Quran tentang Teknologi Modern: Menggali Hikmah dan Panduan dalam Era Digital

Dalam era modern ini, perkembangan teknologi telah membawa dampak signifikan pada kehidupan manusia. Teknologi modern seperti internet, smartphone, dan media sosial telah merubah cara kita berkomunikasi, bekerja, dan berinteraksi. Dalam menghadapi tantangan dan manfaat yang ditawarkan oleh teknologi modern, banyak orang mencari panduan moral dan etika dalam ajaran agama. Al-Quran, sebagai kitab suci umat Islam, memiliki hikmah dan pedoman yang dapat diterapkan dalam konteks teknologi modern. Dalam narasi ini, kami akan menggali ayat-ayat Al-Quran yang relevan dengan teknologi modern dan menguraikan hikmah serta panduan yang dapat diambil dari ayat-ayat tersebut. I. Pemanfaatan Teknologi untuk Pencarian Ilmu Ayat Al-Quran yang pertama yang relevan dengan teknologi modern adalah ayat yang menekankan pentingnya mencari ilmu. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Mujadalah (58:11), "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa d...

Konsep Ruang dan Waktu dalam Al-Qur'an: Perspektif Ilmiah dan Keagamaan

Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bukan hanya merupakan panduan spiritual, tetapi juga menyediakan wawasan tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk konsep ruang dan waktu. Dalam Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang membahas tentang kebesaran Allah SWT yang meliputi dimensi ruang dan waktu. Artikel ini akan mengeksplorasi konsep ruang dan waktu dalam Al-Qur'an dari dua perspektif: ilmiah dan keagamaan. 1. Konsep Ruang dalam Al-Qur'an Dalam Al-Qur'an, Allah SWT sering disebutkan sebagai Zat Yang Maha Luas, mencerminkan pemahaman tentang dimensi ruang yang tak terbatas. Misalnya, dalam Surah Al-Baqarah (2:255), Allah berfirman: "Dan Dia meliputi langit dan bumi." Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak terbatas oleh ruang, tetapi sebaliknya, ruang di dalam ciptaan-Nya. Konsep tentang keberadaan Allah yang melampaui dimensi ruang telah membangkitkan rasa kagum dan ketakjuban di kalangan cendekiawan Muslim. Selain itu, Al-Qur'an juga menggambarkan dimensi ...

Tiga Ras Manusia dari Keturunan Nabi Nuh

Ras manusia memiliki sejarah yang panjang dan kompleks, dengan beragam faktor yang membentuk keberagaman budaya, bahasa, dan karakteristik fisik di seluruh dunia. Salah satu narasi penting dalam agama-agama Samawi adalah kisah Nabi Nuh (Noah) dan banjir besar yang diutus Allah sebagai hukuman terhadap umat manusia yang telah menyimpang dari ajaran-Nya. Dalam kisah tersebut, Nabi Nuh dikatakan memiliki tiga anak: Sem, Ham, dan Yafet. Tiga anak Nabi Nuh ini dipercaya sebagai leluhur dari tiga ras manusia yang berbeda. Dalam artikel ini, kami akan mengulas lebih lanjut mengenai tiga ras manusia tersebut: Semitik, Hamitik, dan Yafetik. 1. Ras Semitik Dalam naskah agama-agama Samawi, Sem diyakini sebagai leluhur dari ras Semitik. Ras ini meliputi bangsa-bangsa di Timur Tengah seperti bangsa Ibrani (Yahudi), Arab, dan bangsa Aram. Para keturunan Sem dikenal dengan budaya yang kaya dan sejarah yang panjang. Mereka memiliki pengaruh yang signifikan dalam perkembangan agama dan bahasa di wilaya...