Langsung ke konten utama

Sejarah Singkat Pendiri Mazhab Zahiri

Nama lengkap beliau adalah Abu Sulaiman, Dawud bin Ali Al.Asfihani Az.Zahiri. Beliau Dilahirkan di Kufah pada tahun 202 H dan meninggal di Baghdad pada tahun 270 H. Beliau adalah pencetus Madzhab az-Zahiri. Beliau merupakan pemimpin golongan ahli Zahir. Dia meletakkan asas madzhab ini, dan kemudian dikembangkan oleh Abu Muhammad Ali bin Sa'id bin Hazm al-Andalusia (384 H - 406 H) yang telah mengarang beberapa buah kitab, yang utama ialah al-Muhalla di bidang fiqih dan al-lhkam fi Ushul al-Ahkam di bidang Usul Fiqih. Imam Dawud adalah di antara hufazh hadits (golongan yang sampai kepada martabatal-Hafizh dalam hadits), ahli fiqih yang mujtahid, dan mempunyai madzhab yang tersendiri setelah beliau mengikuti Madzhab Syafi'i di Baghdad.

Dasar ijtihad dari Madzhab Zahiri adalah beramal dengan zahir Al-Qur'an dan As-Sunnah selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dikehendaki darinya ialah bukan makna yang zahir. Jika tidak ada nash, maka berpindah kepada ijma dengan syarat ijma seluruh ulama. Mereka juga menerima ijma para sahabat. Jika tidak ditemukan di alam nash atau ijma, mereka menggunakan istishab, yaitu al-ibahah al-hasliyyah (asal kemubahan)

Imam Daud Dzahiri menolak metode Qiyas, ra'yu, istihsan, dzarai' dan mencari 'illat nash-nash hukum. Karena cara tersebut tidak dianggap sebagai dalil dalam hukum, sebagaimana mereka juga menolak taqlid, Di antara contoh masalah fiqih menurut madzhab Zahiri adalah pendapat mereka mengenai pengharaman menggunakan bejana dari emas dan perak hanyalah khusus untuk minum. Pengharaman riba hanyalah pada enam jenis yang disebutkan dalam hadits, shalat jum’at dilaksanakan. Saman seperti pendapatnya Abu Tsaur, salah seorang pengasas madzhab fiqih yang telah wafat. Istri yang kaya bertanggung jawab menanggung perbelanjaan nafkah suaminya yang susah dan juga nafkah dirinya. Madzhab ini telah tersebar luas di Andalusia, pada abad ke-5 H, lalu madzhab ini mulai mulai merosot dan akhirnya pupus pada abad ke-8 H.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ayat-Ayat Al-Quran tentang Teknologi Modern: Menggali Hikmah dan Panduan dalam Era Digital

Dalam era modern ini, perkembangan teknologi telah membawa dampak signifikan pada kehidupan manusia. Teknologi modern seperti internet, smartphone, dan media sosial telah merubah cara kita berkomunikasi, bekerja, dan berinteraksi. Dalam menghadapi tantangan dan manfaat yang ditawarkan oleh teknologi modern, banyak orang mencari panduan moral dan etika dalam ajaran agama. Al-Quran, sebagai kitab suci umat Islam, memiliki hikmah dan pedoman yang dapat diterapkan dalam konteks teknologi modern. Dalam narasi ini, kami akan menggali ayat-ayat Al-Quran yang relevan dengan teknologi modern dan menguraikan hikmah serta panduan yang dapat diambil dari ayat-ayat tersebut. I. Pemanfaatan Teknologi untuk Pencarian Ilmu Ayat Al-Quran yang pertama yang relevan dengan teknologi modern adalah ayat yang menekankan pentingnya mencari ilmu. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Mujadalah (58:11), "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa d...

Konsep Ruang dan Waktu dalam Al-Qur'an: Perspektif Ilmiah dan Keagamaan

Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, bukan hanya merupakan panduan spiritual, tetapi juga menyediakan wawasan tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk konsep ruang dan waktu. Dalam Al-Qur'an, terdapat banyak ayat yang membahas tentang kebesaran Allah SWT yang meliputi dimensi ruang dan waktu. Artikel ini akan mengeksplorasi konsep ruang dan waktu dalam Al-Qur'an dari dua perspektif: ilmiah dan keagamaan. 1. Konsep Ruang dalam Al-Qur'an Dalam Al-Qur'an, Allah SWT sering disebutkan sebagai Zat Yang Maha Luas, mencerminkan pemahaman tentang dimensi ruang yang tak terbatas. Misalnya, dalam Surah Al-Baqarah (2:255), Allah berfirman: "Dan Dia meliputi langit dan bumi." Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak terbatas oleh ruang, tetapi sebaliknya, ruang di dalam ciptaan-Nya. Konsep tentang keberadaan Allah yang melampaui dimensi ruang telah membangkitkan rasa kagum dan ketakjuban di kalangan cendekiawan Muslim. Selain itu, Al-Qur'an juga menggambarkan dimensi ...

Menggali Perspektif Islam tentang "Cewe Friendly": Pertimbangan Mengapa Mereka Tidak Ideal Sebagai Pasangan

Dalam pandangan Islam, hubungan antara pria dan wanita memiliki batasan yang jelas dan prinsip-prinsip yang diatur oleh ajaran agama. Dalam era modern ini, istilah "cewe friendly" telah menjadi populer untuk menggambarkan wanita yang sangat ramah dan akrab dengan banyak pria. Namun, dalam konteks hubungan dan pernikahan, ada beberapa alasan yang menunjukkan bahwa menjadi pasangan dengan seorang "cewe friendly" mungkin kurang baik. Artikel ini akan membahas alasan-alasan tersebut dengan merujuk pada prinsip-prinsip Islam dan pendekatan agama terhadap hubungan antara pria dan wanita. 1. Penciptaan Batasan dalam Hubungan Dalam Islam, terdapat pandangan bahwa hubungan antara pria dan wanita seharusnya didasarkan pada batasan-batasan yang jelas. Sebuah hubungan yang serius dan bertujuan menuju pernikahan seharusnya dibangun di atas dasar saling menghormati, menjaga batasan fisik dan emosional, serta berkomitmen dalam ikatan pernikahan. Wanita yang terlalu ramah dan akrab...